Friday, July 11, 2008

Hati-hati depresi pada pasien kanker

Menderita penyakit kanker merupakan trauma bagi pasien. Kondisi ini dapat memberi dampak negatif pada pasien sendiri maupun keluarganya. Perasaan yang dialami pasien antara lain kekhawatiran akan masa depan, ketakutan menghadapi kematian, rasa nyeri dan penderitaan.
Sayangnya, penatalaksanaan kanker selama ini cenderung hanya memfokuskan pada pengobatan fisik pasien. Depresi ditandai dengan adanya perasaan sedih, murung dan iritabilitas. Pasien mengalami distorsi kognitif seperti mengeritik diri sendiri, timbul rasa bersalah, perasaan tidak berharga, kepercayaan diri turun, pesimis dan putus asa. Terdapat rasa malas, tidak bertenaga, retardasi psikomotor dan menarik diri dari hubungan sosial. Pasien juga mengalami gangguan tidur seperti sulit masuk tidur atau terbangun dini hari. ”Nafsu makan berkurang, begitu pula dengan gairah seksual,” kata spesialis kesehatan jiwa Slamet Iman Santoso saat mempertahankan desertasinya untuk meraih gelar doktor bidang kesehatan jiwa pada Universitas Indonesia di hadapan tim penguji yang diketuai Guru Besar Tetap Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Rabu (9/1), di ruang senat FKUI, Jakarta.
Menurut Slamet, depresi bukan gangguan yang homogen, melainkan merupakan fenomena yang kompleks. Bentuknya sangat bervariasi, sehingga kita mengenal depresi dengan gejala yang ringan, berat dengan atau tanpa ciri-ciri psikotik, berkomorbiditas dengan gangguan psikiatrik lain atau dengan gangguan fisik lain. Keanekaragaman gejala depresi itu diduga karena adanya perbedaan etiologi yang mendasarinya.
Pada penelitian mengenai prevalensi psikiatri di antara pasien-pasien keganasan, diperkirakan sekitar 50 persen pasien-pasien keganasan akan memiliki diagnosis psikiatri. Dari jumlah itu, 85 persen di antaranya memiliki gejala-gejala depresi dan atau ansietas. Kebanyakan diagnosis atau sekitar 68 persen diklasifikasikan sebagai gangguan penyesuaian, suatu reaksi emosional yang gagal beradaptasi terhadap tekanan hidup. Data objektif jenis dan frekuensi masalah psikis pada pasien kanker dari bidang psikoonkologi adalah data dari psichosocial collaborative oncology groups (psycog) yang meneliti 215 pasien kanker yang dirawat dan berobat jalan di tiga pusat RS kanker.
Ternyata, 53 persen pasien dapat menyesuaikan diri terhadap stres, 47 persen sisanya menunjukkan gangguan psikiatri secara klinis. Dari yang 47 persen ini, sebanyak 68 persen menderita gangguan penyesuaian dengan depresi dan cemas, 13 persen depresi berat, 8 persen gangguan mental kronik, 7 persen gangguan kepribadian dan 4 persen cenderung cemas. Pada penelitian terhadap 83 wanita dengan keganasan ginekologis, Evans dkk melaporkan bahwa 23 persen memenuhi kriteria psikiatri untuk depresi mayor, 24 persen pasien memenuhi kriteria untuk gangguan penyesuaian dengan suasana perasaan yang berupa depresi, dan 14 persen pasien memiliki diagnosis psikiatri lain. ”Tekanan emosional adalah reaksi normal pada saat ditegakkan diagnosis kanker. Ini harus segera diatasi sejak awal penegakan diagnosis,” ujar Slamet.
Meski ketakutan itu sama pada tiap pasien, tetapi punya tingkat tekanan psikologis berbeda terkait dengan kondisi medis, aspek psikologis dan aspek sosial. Wallen dkk (1987) mengambil data dari 263.000 pasien rawat inap di 327 RS Umum melaporkan, sekitar 24 persen pasien yang membutuhkan rujukan psikiatri didiagnosis mengalami depresi, sedangkan dari rumah sakit-rumah sakit kanker menunjukkan frekuensi lebih tinggi jumlah diagnosis depresi yang dibuat konsultan psikiater.(KCM)

No comments:

Post a Comment