Tuesday, September 16, 2008

Film Blue Sebagai Terapi?

Beny dan Nora punya masalah dalam B kehidupan seksualnya. Pasangan yang baru lima tahun menikah ini merasa hubungan asmaranya menurut kalau tak bisa dibilang hambar. Mungkin karena sama-sama kerja, hubungan intim yang dulunya dilakukan dengan penuh semangat dan membara, setahun belakangan ini menurun drastis. Sebagai pria, Beny merasa tak ada yang salah pada dirinya.
Tapi, untuk menyalahkan istrinya, ia juga tak bisa serta merta. Nora juga bekerja yang berarti membantu mencari nafkah. Tapi kalau diminta memilih, apakah kerja tapi tak lagi bergairah atau di rumah saja tapi selalu siap, Beny memastikan memilih yang terakhir.
Tapi sebelum pilihan yang pasti menimbulkan reaksi keras pihak wanita tersebut,Beny mencari cara lain. Mengikuti anjuran temannya, Beny memutar film biru tanpa sembunyi-sembunyi. Maksudnya, agar Nora ikut menontonnya.

Bahkan ketika Nora menunjukkan antipati, Beny membujuknya. Semula, Nora mengabaikannya. Tapi lama-lama, karena merasa tidak enak, akhirnya terpaksa juga. Apa yang terjadi?

Diam-diam Nora menikmatinya. Bahkan keinginannya yang selama ini nyaris pudar diam-diam tumbuh membangkitkan. Ia merasakan ada yang berbeda dengan adegan-adegan yang tadinya tidak masuk dalam kamus bercintanya, kini terbuka. Wanita ternyata tak harus pasif. Karena Beny pandai menghargai perasaannya, lama-lama Nora pun menikmatinya. Kini hubungan cinta keduanya kembali membara.

Blue film sebagai terapi?

"Kenapa tidak? Ada sejumlah kasus yang menunjukkan bahwa hubungan pasangan yang sudah dingin bisa dihangatkan kembali dengan film-film semacam itu. Secara visual, film-film tersebut bisa merangsang nafsu, sementara berbagai teknik, gaya dan variasi bisa dianggap sebagai referensi dalam hubungan seksual," kata dr. Bambang Soekamto, seksolog dari On Clinic Indonesia.

Film biru bukan sesuatu yang baru. Dari dulu, film yang mempertontonkan adegan-adegan seksual secara vulgar tersebut menjadi bagian dari pembicaraan buram dalam kehidupan paling pribadi. Kini, bersamaan dengan pesatnya teknologi dan tuntutan sosial dan ekonomi, film-film porno itu menjadi makin biasa dan terbuka.

Persewaan film CD mungkin tak begitu laku kalau tidak menyediakan film katagori X tersebut, meskipun dilakukan di bawah meja. Di kaki lima, pedagang CD menjual obral film-film seks secara berani di antara film CD bajakan meskipun sering dirazia pihak kepolisian. Maka, tak heran jika hampir semua pria dewasa tak hanya mendengar, tapi pernah menyaksikan, menonton film biru tersebut.

Keterlibatan banyak wanita sebagai 'penonton' film biru ini boleh jadi memang sebagai akibat dari makin terbukanya jalur distribusi, di samping sebagai konsekuensi logis dari persamaan gender dan perbaikan tingkat pendidikan yang juga berpengaruh pada masalah seksual. Dr. Bambang Soekamto mencatatnya sebagai hal yang positif karena dapat diartikan sebagai peningkatan kesadaran terhadap masalah kehidupan seksual sehingga dapat memberi kontribusi positif dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi, baik secara pribadi maupun yang menyangkut pasangan.

"Keterbukaan komunikasi dapat jadi kunci solusi permasalahan seks," tambah seksolog ini. Ia juga menunjuk makin banyaknya wanita yang berbicara secara lebih terbuka di media masa atau diskusi. Bahkan, di kliniknya yang lebih mengkhususkan masalah seks kaum pria, ketika ada kesempatan berbicara, pihak wanita melakukannya dengan proaktif. Dr. Bambang mengaku tidak punya data tentang pengaruh blue film; tapi dari hasii poling menunjukkan catatan yang mengejutkan. Sebanyak 58 dari 78 pria atau 61,50% mengaku para wanita pasangannya merasa senang dan bergairah terhadap film biru.

Yang menarik, tampaknya diam-diam telah terjadi perubahan persepsi terhadap film seks tersebut. Kalau pada masa lalu, film tersebut lebih sebagai hiburan negatif sehingga haram untuk ditonton, kini ada kelompok yang menganggapnya sebagai referensi.

Sebutlah pasangan Beny dan Nora tadi. Dalam persepsinya, film porno dapat dinetralisasikan menjadikan hal yang berguna bahkan mengatasi permasalahan seksualnya. Persepsi seperti itu ternyata tak hanya terjadi pada Beny dan Nora.

Mungkin bisa dikategorikan sebagai hiburan vulgar, sebagian besar penonton (52,58%) memberikan catatan tambahan, mendapatkan informasi tentang gaya dan teknik bercinta. Bahkan ada yang menyatakan sebagai pembangkit gairah yang menurun.

"Sebenarnya, soal film biru atau apa pun hal yang digunakan untuk membantu permasalahan seksual hanyalah salah satu faktor saja. Yang terpenting adalah adanya persamaan persepsi antara kedua belah pihak, dalam hal ini pasangan suami istri, tambah Dr. Bambang.

Bahwa film biru dapat dijadikan terapi pada pasangan yang bermasalah, hal tersebut sangat bisa terjadi. Di Barat, sejumlah seksolog memberikan terapi kepada pasien-pasien tertentu yang mengalami problem seksual, terutama dalam upaya membangkitkan gairah yang memudar atau berhilang. Pasangan-pasangan yang sudah berusia lanjut, yang secara fisik dan mental telah mengalami penurunan kemampuan dan minat, sebagian berhasil dinyalakan kembali dengan tontonan film seks tersebut; meskipun tidak maksimal.

"Keinginan ada. Bahkan semangatnya besar, ingin mengulang masa muda," kata Benyamin, 60 tahun, dalam majalah Complete Woman dalam artikelnya yang membahas seks di usia lanjut. Rapi, realitasnya, kemampuan selalu selaras dengan usia. Hanya sejumlah kecil pria usila yang disebut-sebut masih punya kemampuan besar.

Bagi penderita impotensi dan frigiditas, blue film terkadang juga digunakan untuk menguji kapasitas keinginan dan kemampuannya. Gambar-gambar sensual, erotis dan juga dramatis mungkin bisa jadi perangsang terhadap simpul syaraf yang mampu menggerakkan organ vital. Kadang mendapatkan hasil, meskipun seringkali juga tidak.

"Secara biologis, dampak negatifnya terhadap pasien-pasien bermasalah ini relatif tidak besar," kata dokter Bambang yang banyak memiliki pasien pria penderita impotensi./kapanlagi

No comments:

Post a Comment