SETIAP kali bercerita tentang putranya yang gemuk, Yuyun (45) selalu tertawa tetapi dengan nada kesal. Ditya (13), putranya, selalu merasa lapar, dan dia punya berbagai macam cara dan alasan agar bisa makan. Ketika masih berusia lima tahun, Ditya senang sekali makan mi bakso. Dia bisa menghabiskan tiga mangkuk mi bakso.
YUYUN berusaha membatasi porsi makan Ditya, dan dia hanya membolehkan anak itu memesan satu porsi saja. Namun saat membayar, Yuyun kaget karena penjualnya meminta uang setara dengan tiga mangkuk bakso. Ternyata, Ditya memang hanya memesan satu mangkuk, namun dia minta baksonya ditambah hingga berjumlah 10 buah.
"Nafsu makan Ditya yang besar, bisa jadi karena saya selalu mendorong dia makan sewaktu masih balita. Saya seperti balas dendam, karena sejak lahir hingga umur 17 bulan, Ditya sama sekali tidak mau makan. Bahkan, minum susu pun dia tidak berselera. Badannya jadi tampak lemas, dan dia tidak bisa melakukan apa-apa," ungkap Yuyun yang tinggal di kawasan Matraman, Jakarta Timur.
Selera makan dan perkembangan Ditya baru tumbuh pesat ketika ari-arinya yang selama ini ditaruh di toples dan ditanam, dikeluarkan dari toplesnya dan ditanam kembali tanpa toples. "Hari ini wadah ari-arinya diganti dan ditanam, esok harinya Ditya langsung bisa jalan. Sebenarnya saya juga tidak percaya, tetapi itulah yang terjadi pada Ditya," cerita Yuyun.
Sejak mau makan dan minum susu, perkembangan tubuh Ditya amat pesat. Usia lima tahun berat badannya sekitar 25 kilogram. "Kami memang suka makan ayam goreng cepat saji. Setiap minggu pasti kami pergi ke restoran ayam itu. Tetapi setelah tahu kalau masakan itu tidak mengandung gizi seimbang, kami tidak lagi ke restoran itu," kata Yuyun.
Dia lalu membiasakan Ditya makan masakan rumah yang lebih terkontrol kandungan gizi dan porsinya. Namun tetap saja porsi makannya lebih banyak dari kebutuhan tubuhnya. "Saya bilang nasinya sedikit saja, sayurnya diperbanyak. Eh, dia memang mengurangi porsi nasinya, tetapi sayur semuanya dimakan, orang lain enggak kebagian," tutur Yuyun tentang putranya yang suka menyatukan dua porsi bubur ayam dalam satu piring itu.
Yuyun pun sudah membawa Ditya berkonsultasi ke dokter. Hasilnya, sekitar empat hari sepulang dari dokter, Ditya akan mengikuti anjuran dokter. Namun setelah itu dia akan mengeluh kelaparan dan tidak bisa berkonsentrasi dalam belajar karena perutnya merasa lapar. Sulit bagi Yuyun untuk mengurangi secara drastis porsi makan Ditya, hingga dia memilih menambah aktivitas fisik anaknya. Kini, dengan tinggi badan 1,65 meter, berat badan Ditya sekitar 76 kilogram.
HAL serupa dialami banyak orangtua lain yang mempunyai anak kegemukan. Masalah itu biasanya muncul sejak anak berusia balita hingga sekolah dasar. Indra (53) bercerita, tubuh anaknya, Iman-kini 22 tahun dengan berat badan 110 kilogram dan tinggi 1,70 meter-mulai "berisi" ketika dia mulai mengenal acara makan bersama sewaktu taman kanak-kanak.
"Tadinya Iman adalah anak yang susah makan, dia hanya mau minum susu. Tetapi melihat teman-temannya makan, dia terpengaruh dan mau makan," ujar Indra. Menurut dia, porsi makan Iman tak berlebih, makanya dia heran mengapa tubuh Iman jadi gendut. Ketika diperiksa dokter, ternyata kegemukannya disebabkan oleh hormon.
Selama perkembangan Iman, Indra selalu mendorongnya melakukan banyak aktivitas fisik agar tercapai berat badan ideal. "Saya harus menjahit baju sendiri untuknya karena tak ada ukuran yang pas. Saya juga harus membuatnya percaya diri karena dia sensitif, cepat tersinggung, kalau ada yang membicarakan soal bobot tubuhnya," kata Indra yang juga khawatir suatu hari nanti Iman akan terkena "penyakit kegemukan" seperti jantung, diabetes, atau kolesterol.
Kegemukan atau sering kali disebut obesitas, menurut Zakiudin Munasir, dokter spesialis anak, faktornya bisa karena genetika atau keturunan, endokrin atau kelainan hormonal, dan faktor eksternal, yaitu pola makan yang tinggi kadar lemak dan kalorinya.
"Kelainan hormon misalnya karena seseorang punya tumor di kelenjar adrenalnya hingga mengakibatkan gemuk air. Ada juga kelainan hormon yang menyebabkan kelainan metabolisme. Misalnya, produksi enzim pemecah lemak untuk menjadi energi terhambat," katanya.
Sedangkan faktor eksternalnya adalah pengaruh makanan-makanan yang mengandung hormon. Misalnya junk food yang menggunakan ayam broiler dengan suntikan hormon stilbestrol supaya gemuk.
Orangtua sebaiknya mulai waspada bila anaknya tak suka banyak bergerak, suka mengemil makanan yang manis, berlemak dan berkalori tinggi. Sedangkan tanda-tanda pada badannya mulai menunjukkan adanya lipatan kulit pada paha, leher, dada, dan perut.
Anak yang telanjur kegemukan pada masa kecilnya memiliki kecenderungan gemuk pada saat dia dewasa nanti. Alasannya, banyaknya sel-sel lemak yang sudah terbentuk dalam tubuh, walaupun ukurannya sempat mengecil saat anak menjadi kurus, akan mudah dipicu berbagai sebab hingga mudah membesar kembali.
"Kalau sudah begini, orang itu akan rentan terkena berbagai penyakit, seperti jantung, diabetes, dan sebagainya. Meskipun penelitian juga menunjukkan tidak selalu anak yang gendut, pasti akan tumbuh menjadi orang dewasa yang gendut pula," kata Zakiudin.
DI Indonesia, kegemukan belum menjadi masalah nasional. Namun, di Amerika Serikat (AS), kegemukan sudah menjadi epidemi yang mengakibatkan berbagai masalah kesehatan serius. Tiga dari lima orang AS bisa dikatakan kelebihan berat badan, dan para peneliti di Negeri Paman Sam itu memperkirakan anak-anak AS kini akan menjadi generasi dengan tingkat harapan hidup lebih singkat dibandingkan orangtua mereka.
Penyebab obesitas pada orang AS antara lain pengaruh perusahaan makanan dalam memperbesar porsi produknya, dan kebiasaan mereka makan fast food atau makanan cepat saji. Sejak tahun 1977, kalori yang dikonsumsi orang AS naik sekitar 10 persen atau sekitar 200 kalori lebih setiap hari. Kalau sebelumnya AS disebut sebagai "Republik Alkohol" karena mereka mengonsumsi minuman beralkohol untuk sarapan, makan siang, dan makan malam, maka sekarang julukan itu mestinya berubah menjadi "Republik Kegemukan".
Semakin banyak dan murahnya makanan dituding pula sebagai penyebab obesitas. Ketika panen para petani membeludak, pasar pun dibanjiri makanan yang berharga murah. Orang pun cenderung menambah porsi makannya. Di samping itu, demi mempertahankan harga, maka para petani dan produsen makanan melakukan penganekaragaman produk. Jagung dan ayam misalnya, ditambah berbagai unsur hingga menjadi produk makanan yang tak lagi alamiah.
Orang pun tertarik mengonsumsinya sebab produk makanan semacam itu disertai dengan "kampanye" perubahan gaya hidup dan kepraktisan. Kalau semula bahan mentah dimasak dengan berbagai bumbu segar, kini orang bisa makan ayam nan gurih hanya dengan menggorengnya saja.
Kalau gaya hidup orang Indonesia semakin terpengaruh dengan AS, maka amat mungkin suatu hari nanti kita pun bakal menghadapi masalah kegemukan nasional. Salah satu cara menghindarinya adalah dengan memberlakukan pola makan yang seimbang dengan kebutuhan kalori seseorang.
Namun, bila anak Anda telanjur kegemukan, salah satu cara mengatasinya, menurut Zakiudin, adalah dengan diet gizi seimbang. Biasanya anak akan diperiksa oleh dokter gizi dan dokter endokrin. Dokter gizi memberi nasihat mengenai diet dan gizi seimbang, serta melihat metabolisme untuk mencari penyebab obesitas, sementara dokter endokrin akan memeriksa kondisi hormonal anak dan memberinya terapi bila diperlukan.
Diet bagi anak kegemukan bisa berarti pedang bermata dua. Di satu sisi dia perlu diet, namun sisi tubuhnya yang lain memerlukan asupan yang cukup agar perkembangan tubuhnya tidak terganggu. Apalagi disiplin diet pada anak-anak relatif lebih sulit diterapkan. Oleh karena itulah, selain gaya hidup dan pola makan yang sehat, sebaiknya orangtua lebih menitikberatkan pada porsi olahraga. Usahakan agar porsi olahraganya diperbanyak, hingga kalori yang masuk dan keluar dari tubuhnya bisa seimbang.
Iman misalnya, dia rajin berolahraga namun sulit sekali untuk menerapkan disiplin diri dalam jangka panjang. Dia pernah mengikuti program pelangsingan tubuh yang berbiaya jutaan rupiah. Selama beberapa lama berat badannya sempat turun sampai sekitar 15 kilogram. Namun karena dia tak telaten, maka dia enggan meneruskan program tersebut.
Bagaimanapun, ketelatenan, disiplin, dan motivasi kuat amat penting bagi mereka yang ingin mendapatkan berat badan ideal. Apalagi mengingat berbagai penyakit bakal mengikuti tumpukan lemak dalam tubuh kita. Selain penyakit diabetes, stroke, jantung, hormon yang abnormal, orang gemuk juga terancam menderita sakit pada tulang kakinya. Sebab, selama bertahun-tahun kaki harus menyangga kelebihan berat tubuhnya/Kompas
No comments:
Post a Comment